Post by : Outbound Malang
dan hendaklah ada di antara kamu suatu umat yang menyeruh berbuat kebaikan, dan menyuruh orang melakukan yang benar, serta melarang yang mungkar. Merekalah orang yang mencapai kejayaan.
– Q.S. 3 surat Ali ‘Imran (Keluarga Imran) ayat 104 –
sebuah ilustrasi dari sebuah pengalaman itu sendiri, adalah ketika saya mewawancarai seorang Presiden Direktur PT. Asuransi Jiwa Bakrie, 20 Juli 2000 yang lalu. Alasan saya memilih beliau, sebut saja “DS”, karena karirnya yang beranjak dari bawah sekali. Mulai berjarir tahun 1963 di BNI, selanjutnya selama tujuh tahun di Citibank sejak 1968. Pada tahun 1981 dipercaya menjadi Vice President di Bank Niaga, tahun 1986-1991 sebagai Wakil Presiden Direktur di Bank Utama. Tahun 1991 hingga tahun 1997 menjabat Direktur merangkap komisaris di BII, sekarang menjabat sebagai Presiden Direktur PT. Asurasnsi Jiwa Bakrie. Suatu perjalanan karir di mana dia mampu terus berada di puncak. Paling istimewa lagi adalah dia mulai berkarir dengan hanya bermodal ijazah SMA saja.
Selama perjalananya memimpin beberapa perusahaanm DS selalu menghadapi permasalahan yang hampir sama, apabila hendak melakukan suatu perbaikan atau perombakan manajemen, yakni pola berpikir para karyawannya yang selalu merujuk pada sebuah pengalaman lama. Mereka selalu berkata: “Dari dulu juga begini, tidak apa-apa kok!”
Saya akan kemukakan salah satu contoh belenggu pikiran yang berhasil dirombak olehnya. Sebuah contoh sederhana: kebiasaan melipat surat yang salah, karena tidak diukur dahulu sebelum dilipat, kemudian bekas lipatan itu diluruskan lagi, sehingga lipatan yang salah tersebut meninggalkan bekas pada surat. Hal ini menurutnya akan menimbulkan efek negatif bagi para nasabah bank ketika melihat bekas garis lipatan yang tidak rapi tersebut dan bisa berdampak besar bagi Bank, yaitu hilangnya rasa kepercayaan para nasabah yang dikelolahnya. Cetusan suara hati itu kemudian menjadi kebiasaan di BII, dengan adanya tanda untuk melipat surat. DS telah memanfaatkan suara hatinya, dorongan utnuk lebih sempurna, di saat karyawan-karyawannya saat itu masih terbelenggu oleh pengalaman dan kebiasaan lama yang membuat mereka tak bisa berpikir merdeka dan tak mampu berpikir lebih maju.
Kisah lain DS, pada saat memimpin di sebuah bank swasta. Karyawannya terbiasa mengirimkan surat dalam dua lembar kertas. Pada lembar kedua isinya, “Demikian, terimah kasih” dan sebuah goresan tanda tangan. Kebiasaan penghematan yang dibuat olehnya ternyata sangat luar biasa. Katakan saja, seandainya ada satu juta nasabah, yang setiap bulan harus dikirimi surat pemberitahuan, artinya satu tahun menjadi 1 juta x 12 = 12 juta lembar! Kalikan saja dengan Rp. 250 untuk harga perlembar surat. Penghematan 230 x 12 juta lembar = 3 milyar rupiah. Seandainya hal ini sudah dilakukan sepuluh tahun yang lalu maka penghematan yang seharusnya terjadi adalah 30 miliar rupiah. Ini suatu contoh harga sebuah suara hati. Dan inti permasalahannya, mengapa hal ini tidak mampu ““ilihat””oleh karyawan yang bertanggung jawab terhadap surat-surat tersebut. kEmbali, pengalaman dan kebiasaanlah yang telah membelenggu hati dan pikiran, yang akhirnya mengakibatkan kerugiaan luar biasa.
Pemikiran seperti ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi. Sehingga ia tidak bisa lagi melihat dan menilai sesuatu secara obyektif, apalagi pengalaman atau budaya tersebut dimiliki secara kolektif, maka suatu pemikiran akanmenjadi suatu paham. Contohnya, kejadian Nicolaus Copernicus, Kepler dan Galileo Galilei yang dihukum dan ditentang karena menemukan teori “Matahari-Sentris”.
Pengalaman kehidupan dan lingkungan akan sangat mempengaruhi cara berpikir seseorang yang berakibat pada terciptanya sosok manusia hasil pembentukan lingkungan sosialnya. Bisa dibayangkan apabila ia berada pada lingkungan sosial yang buruk, maka ia pun akanmenjadi seseorang seperti lingkungan itu. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang (acceptance) dan keakraban dalam lingkungan keluarga, ia akan belajar hidup penuh dengan cinta dan bersahabat. Berbeda dengan lingkungan yang penuh celaan, hinaan, permusuhan, yang hanya akan menghasilkan manusia-manusia dengan pribadi labil dan kurang bermoral. Dalam suatu hadits pun dijelaskan tentang perumpamaan kawan yang baik dan buruk:
Bagaikan pembawa misik (kasturi), dengan peniup api tukang besi, maka yang membawa misik, adakalanya memberimu atau anda membeli padanya, atau mendapat bau harusm darinya. Adapun peniup api tukang besi, jika tidak membakar bajumu, atau anda mendapat abau busuk daripadanya.
– H.R. Bukhari dan Muslim –
Pengalaman-pengalaman hidup, kejadian-kejadian yang dialami juga sangat berperan dalam menciptakan pemikiran seseorang, sehingga membentuk suatu “paradigma” yang melekat di dalam pikirannya. Seringkali paradigma itu dijadikan sebagai suatu “kaca mata” dan sebuah tolok ukur bagi dirinya sendiri, atau untuk menilai lingkungannya. Hal ini jelas akan sangat merugikan dirinya sendiri atau bahkan orang lain. Ini akan sangat membatasi cakrawala berpikir, akibatnya ia akan melihat segala sesuatu secara sangat subyektif, ia akan menilai segalanya berdasarkan “frame” berpikirannya sendiri, atau melihat berdasarkan bayangan ciptaannya sendiri, bukan melihat sesuatu secara riil dan obyektif. Ia akan menjadi produk dari pikirannya. Ia akan terkungkung oleh dirinya sendiri. Kadang ia tidak menyadari sama sekali bahwa alam pikirannya itu sudah begitu terbelnggu.
Prinsip yang benarlah yang akan melindungi diri kita dari pengaruh pengalaman hidup, bukan “proaktif”, karena proaktif barulah sebuah metode untuk melihat sesuatu secara berbeda. Melihat sesuatu secara proaktif tanpa diland