Pos By : Outbound Malang
I.1. KEKUATAN PRINSIP
(Ingatlah) ketika dua golongan daripadamu hampir kehilangan semangat, (dan ingin mengundurkan diri), sedangkan Allah melindunginya. Kepada Allah hendaknya orang mu’min tawakal.
– Q.S. 3 Surat Ali ‘Imran (Keluarga Imran) ayat 122 –
Saya sedang berada di Jakarta dan sedang menulis buku ini. Hari itu Minggu, tanggal 30 Juli tahun 2000, pukul 12 siang. Tiba-tiba telepon genggam saya berdering. Salah seorang mitra usaha saya, seorang dokter dan juga seorang “master’ di bidang asuransi kesehatan, menghubungi saya. Ia memberi tahu, bahwa dirinya sedang berda di Bali dalam rangka perjalanan bisnis untuk meluncurkan dan memasarkan produk asuransi kesehatan khusus untuk turis asing yang datang ke Bali. Kebetulan dia pernah meminta saya untuk mencarikan seseorang yang memiliki akses pemasaran di sana. Saya langsung teringat pada seorang teman di Bali yang pernah meminta saya untuk dicarikan produk seperti yang ditawarkan oleh mitra usaha itu. Kemudian saya segera menghubunginya. Ini suatu peluang bisnis bagi kawan saya.saya akan mempertemukan mereka berdua. Lalu saya ceritakan hal ihwal tentang mitra usaha saya kepada teman saya yang berada di Bali itu agar mempermudah perkenalannya. Saa jelaskan bahwa mitra usaha saya itu adalah seorang yang sangat ahli di bidang asuransi kesehatan, dan ia pimpinan salah satu perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia, seorang dokter dan sangat sukses di Jakarta. Pernah mencapai omzet pendapatan premi terbesar di Indonesia di bidang asuransi kesehatan. Semua ini saya jelaskan kepada kawan lama saya itu agar timbil suatu keyakinan dalam dirinya bahwa dia akan saya pertemukan dengan orang yang sungguh-sungguh ahli dan tepat dalam bisnis ini.
Tetapi sesuatu hal terjadi di luar dugaan saya. Kawan lama saya itu merasa dirinya tidak sejajar dengan sang mitra usaha. Dia mengungkapkan hal ini kepada saya bahwa dia merasa ragu-ragu untuk menemuinya. Sungguh di luar perkiraan saya. Radar hati saya harus bergerak cepat, saya harus menyakinkan kawan lama saya itu. Saya menyadari paradigma yang terbentuk akibat dari kata-kata dan penjelasan saa tentang sang mitra usaha itu membuat dirinya merasa ‘minder’. Saya tekankan bahwa, “Memang sang mitra usaha itu ahli di bidang asuransi kesehatan, tetapi pengetahuan tentang jaringan pemasaran di Bali oastilah anda lebih menguasainya.” Lalu saya katakan: “Mitra usaha saya itu orang jakarta dan anda tinggal di Bali, jadi anda pasti lebih menguasai pemasaran di Bali, dan bahkan apabila sang mitra usaha itu berjalan sendirian di daerah Kuta saja, pastilah dia tersesat kebingungan,” saya berusaha meyakinkan. Saat itu, bisa saya rasakan bahwa kawan lama saya itu tersenyum dan kepercayaan dirinya tumbuh kembali. Dia berkata: “Baik, berapa nomor teleponnya, dan di mana dia tinggal!” dengan suara penuh keyakinan. Kawan lama saya itu hampir kehilangan peluang usaha senilai 100.000 USD. Produk yang belum pernah ada di Bali. Saya yakin akan berhasil, karena kawan lama saya itu memiliki akses penting di Bali, yang menurut saya berpotensi dan membutuhkan produk tersebut. Bali membutuhkan produk tersebut.
Kisah nyata yang saya alami itu, sekiranya bisa menjelaskan bahwa sebuah keterangan, atau sepotong kalimat, atau sebuah kejadian, mampu mengubah paradigma berpikir seseorang. Dan sebaliknya, mampu menghasilkan sikap yang bisa sangat merugikan. Dalam diri seseorang sebenarnya telah dikaruniai oleh Tuhan sebuah jiwa, di mana dengan jiwa tersebut, tiap orang bebas memilih sikap. Bereaksi positif atau negatif, bereaksi benar atau salah, bereaksi berhenti atau melanjutkan, bereaksi marah sabar, bereaksi reaktif atau proaktif, bereaksi baik atau buruk. Andalah sebenarnya penanggung jawab penuh dari reaksi diri anda, sikap anda, dan keputusan anda. Kawan lama saya itu, belum memiliki prinsip kuat dalam cara berpikirnya sehingga menjadi korban lingkungan di sekitarnya. Prinsipnya terbentuk karena kondisi di luar dirinya, bukan dari dalam. Menyimak kisah kawan lama saya, saya harapkan bisa menjelaskan bahwa kita memiliki suatu kebebasan untuk memilih reaksi terhadap segala sesuatu yang terjadi atas diri kita. Andalah penanggungjawab utama atas sikap anda, bukan pada lingkungan anda. Di sanalah bersemayam kepedihan, atau kebahagiaan. Andalah sang penentu.
Lingkungan bisa berubah-ubah dalam hitungan detik tanpa bisa diduga. Namun prinsip adalah abadi. Prinsip tidak berubah. Di sanalah terletak pusat rasa aman yang hakiki. Rasa aman yang tercipta dari dalam, bukan di luar. Prinsip yang benar bukanlah sekedar sikap “proaktif” yang selama ini dikenal di barat, yaitu melihat dan berespon dengan cara yang “berbeda” tanpa prinisp dasar yang jelas. Prinsip dasar adalah suatu kesadaran fitrah (awarenes), berpegang kepada Pencipta yang abadi. Prinsip yang esa, Laa Illallah.
Kemampuan untuk “mengendalikan sukma” ketika suatu permasalahan terjadi atas diri kita (proaktif) adalah sangat sulit dilakukan tanpa adanya kekuatan prinsip yang bisa dipegang teguh. Kemampuan untuk mengendalikan suka (proaktif) melalui prinsip Allah Yang Esa saya namakan Kekuatan Prinsip. Inilah dasar penjernihan emosi kita, bukan proaktif seperti yang diajarkan oleh kalangan orang-orang barat yang masih meraba-raba itu.
Incoming search terms for the article:
* outbound malang
* outbound di malang